AsLLamualaikum^^
Selamat datang di blog ini, semoga apa yang saya tulis bermanfaat untuk pembaca dan bisa sama-sama saling bertukar ilmu^^ semangat perjuangan!!^^
HaDist pEnyEjUk^^
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra : Rasulullah Saw pernah bersabda, “perbuatan yang engkau lakukan tidak akan menyelamatkan engkau dari api neraka”, mereka berkata, “bahkan engkau sendiri ya Rasulullah?” Nabi Muhammad Saw bersabda, “bahkan aku sendiri, kecuali Allah melindungiku dengan kasih dan rahmatNya. Oleh karena itu lakukanlah perbuatan baik sepatut mungkin, setulus mungkin, sedapat mungkin dan beribadahlah kepada Allah pada pagi dan sore hari, pada sebagian dari malam hari dan bersikaplah al-qashd (mengambil pertengahan dan melaksanakannnya secara tetap) karena dengan cara itulah kamu akan mencapai (surga)”.
Sesuai dengan bunyi pasal 1 UU No.10 tahun 2004 yaitu yang membahas mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Agar sebuah peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati tahap-tahap tersebut.
Berikut ini keterangan dari tahap-tahap diatas:
1. Tahap perencanaan
Tahap perencanaan adalah suatu proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu yang diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa.
2. Tahap persiapan
Tahap ini menjelaskan bagaimana prosedur pengajuan sebuah peraturan perundang-undangan. Karena terdapat berbagai jenis bentuk peraturan perundang-undangan, dimana setiap jenisnya mempunyai spesifikasi kewenangan legislasi yang berbeda-beda.
Pasal 17 ayat 1 menyebutkan, ‘Rancangan undang-undang baik yang berasal dari Dewan Pewakilan Rakyat, Presiden, maupun dari Dewan Perwakilan Daerah disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional’. Dan pada ayat 2 menyebutkan bahwa rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyusunan rancangan undang-undang sebagai dimaksud oleh pasal 17 ayat 1 dapat dilakukan di luar program legislasi nasional (prolegnas) dalam keadaan tertentu (Pasal 17 ayat 3).
3. Tahap teknik penyusunan
Untuk teknik ini dapat dilihat lebih rinci pada lampiran UU No. 10 tahun 2004. Namun lebih rincinya untuk penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden.
4. Tahap pembahasan
Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR.
5. Tahap pengesahan
Tahap ini dilakukan setelah rancangan undang-undang telah disepakati dalam rapat pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR dan lembaga negara lainnya, termasuk Presiden. Pengesahan undang-undang dilakukan oleh Presiden paling lambat lima belas hari kerja sejak rancangan undang-undang yang disepakati dikirim oleh DPR kepada Presiden.
6. Tahap pengundangan
Rancangan undang-undang yang telah ditandatangani oleh Presiden dikirim ke Sekretariat Negara untuk diregistrasi dan diundangkan. Undang-undang ini kemudian dimasukkan dalam lembaran negara.
7. Tahap Penyebarluasan
Penyebarluasan undang-undang yang telah disahkan dan diundangkan dapat disebarluaskan melalui berbagi media, baik media cetak maupun media elektronik. Selain itu, undang-undang yang telah disahkan dapat disebarkan melalui internet, antara lain melalui website resmi DPR.
Proses penyusunan undang-undang begitu panjang???
Undang-undang merupakan wujud hasil terjemahan dari sebuah kebijakan. Dan tahapan yang panjang tersebut bertujuan untuk menjaring aspirasi masyarakat yang begitu banyak dan beragam, sehingga undang-undang yang dikeluarkan diharapkan benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat.
Menurut saya mengapa proses tersebut begitu panjang dikarenakan Indonesia merupakan negara berbasis demokratis sehingga membutuhkan dasar hukum untuk semua tindakannya. Untuk membuat suatu produk legislasi, apalagi di masyarakat dalam transisi seperti masyarakat Indonesia, perlu melibatkan proses dan pendalaman substansi yang kompleks, serta melibatkan semua unsur pemangku kepentingan yang tidak mudah untuk disatukan maunya, sehingga prosesnya pun panjang. Selain itu Prosesnya bisa tarik ulur terlalu lama dan jauh dari kesan efektif. Sementara obyek pengaturan, untuk keperluan kepastian hukum dan keadilan, sudah sangat mendesak untuk diberlakukan. Contoh mudahnya adalah RUU Amandemen UU Ketenagakerjaan, RUU Amandemen UU KPK dan sebagainya.
Penyebab lainnya yaitu keadaan masyarakat yang begitu heterogen mempunyai keinginan, kebutuhan dan keadaan yang berbeda-beda sehingga proses pengambilan keputusan sangat menyangkut dengan aspek-aspek lain yang perlu pengkajian dari berbagai macam sisi sudut pandang karena dalam proses panjang tersebut banyak mata yang menilai sesuai dari bidangnya dan mereka merupakan perwakilan dari masyarakat.
Sebuahnegara kesejahteraanadalah sebuah konsep pemerintahan di mana negara memainkan peran kunci dalam perlindungan dan promosi ekonomi dan kesejahteraan sosial warganya.Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip persamaan kesempatan, pemerataan kekayaan, dan tanggung jawab publik bagi mereka yang tidak mampu memanfaatkan diri dari ketentuan minimal untuk kehidupan yang baik.
Dalam negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan ketelantaran tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial parsial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpadu oleh program-program jaminan sosial (social security), seperti pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran.
Negara kesejahteraan pertama-tama dipraktekkan di Eropa dan AS pada abad 19 yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism). Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari gilasan mesin kapitalisme.
Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yakni:
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”.
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilanka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara sporadis, temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta yang mampu mengiur.
Selain itu mari kita dapat menengok Selandia Baru, satu negara yang mempraktekkan negara kesejahteraan.
Selandia Baru memang tidak menganut model ideal negara kesejahteraan seperti di negara-negara Skandinavia. Tetapi, penerapan negara kesejahteraan di negara ini terbilang maju diantara negara lain yang menganut model residual. Yang unik, sistem ini tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan strategi ekonomi kapitalisme. Sistem jaminan sosial, pelayanan sosial dan bantuan sosial (income support), misalnya, merupakan bagian dari strategi ekonomi neo liberal dan kebijakan sosial yang terus dikembangkan selama bertahun-tahun.
Penerapan negara kesejahteraan di Selandia Baru dimulai sejak tahun 1930, ketika negara ini mengalami krisis ekonomi luar biasa. Saat itu tingkat pengangguran sangat tinggi, kerusuhan memuncak dan kemiskinan menyebar di mana-mana. Kemudian sejarah mencatat, negara ini keluar dari krisis dan menjadi negara adil-makmur berkat keberanian Michael Joseph Savage, pemimpin partai buruh yang kemudian menjadi perdana menteri tahun 1935, menerapkan negara kesejahteraan yang masih dianut hingga kini. Sebagaimana diabadikan oleh Baset, Sinclair dan Stenson (1995:171): “The main achievement of Savage’s government was to improve the lives of ordinary families. They did this so completely that New Zealanders changed their ideas about what an average level of comfort and security should be.”
Liberalisasi ekonomi dan mekanisme pasar bebas yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi tidak mengurangi peran negara dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, sejak tahun 1980 Selandia Baru menjalankan privatisasi dan restrukturisasi organisasi pemerintahan. Namun negara ini tetap memiliki lembaga setingkat departemen (ministry of social welfare) yang mengatur urusan sosial.
Anggaran untuk jaminan dan pelayanan sosial juga cukup besar, mencapai 36% dari seluruh total pengeluaran negara, melebihi anggaran untuk pendidikan, kesehatan maupun Hankam (Donald T. Brash, 1998). Setiap orang dapat memperoleh jaminan hari tua tanpa membedakan apakah ia pegawai negeri atau swasta. Orang cacat dan penganggur selain menerima social benefit sekitar NZ$400 setiap dua minggu (fortnightly), juga memperoleh pelatihan dalam pusat-pusat rehabilitasi sosial yang profesional.
Bagaimana dengan Indonesia???
Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia sesungguhnya mengacu pada konsep negara kesejahteraan. Dasar Negara Indonesia (sila kelima Pancasila) menekankan prinsip keadilan sosial dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Namun demikian, amanat konstitusi tersebut belum dipraktekan secara konsekuen. Baik pada masa Orde Baru maupun era reformasi saat ini, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas jargon dan belum terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.
Penanganan masalah sosial masih belum menyentuh persoalan mendasar. Program-program jaminan sosial masih bersifat parsial dan karitatif serta belum didukung oleh kebijakan sosial yang mengikat. Orang miskin dan PMKS masih dipandang sebagai sampah pembangunan yang harus dibersihkan. Kalaupun di bantu, baru sebatas bantuan uang, barang, pakaian atau mie instant berdasarkan prinsip belas kasihan, tanpa konsep dan visi yang jelas.
Bahkan kini terdapat kecenderungan, pemerintah semakin enggan terlibat mengurusi permasalahan sosial. Dengan menguatnya ide liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih tertarik pada bagaimana memacu pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, termasuk menarik pajak dari rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan tanggungjawab menangani masalah sosial dan memberikan jaminan sosial diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.
Bila Indonesia dewasa ini hendak melakukan liberalisasi dan privatisasi ekonomi yang berporos pada ideologi kapitalisme, Indonesia bisa menimba pengalaman dari negara-negara maju ketika mereka memanusiawikan kapitalisme. Kemiskinan dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh berbagai skim jaminan sosial yang benar-benar dapat dirasakan manfaatnya secara nyata terutama oleh masyarakat kelas bawah.
Pengalaman di dunia Barat memberi pelajaran bahwa jika negara menerapkan sistem demokrasi liberal dan ekonomi kapitalis, maka itu tidak berarti pemerintah harus “cuci tangan” dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Karena, sistem ekonomi kapitalis adalah strategi mencari uang, sedangkan pembangunan kesejahteraan sosial adalah strategi mendistribusikan uang secara adil dan merata.
Diibaratkan sebuah keluarga, mata pencaharian orang tua boleh saja bersifat kapitalis, tetapi perhatian terhadap anggota keluarga tidak boleh melemah, terutama terhadap anggota yang memerlukan perlindungan khusus, seperti anak balita, anak cacat atau orang lanjut usia. Bagi anggota keluarga yang normal atau sudah dewasa, barulah orang tua dapat melepaskan sebagian tanggungjawabnya secara bertahap agar mereka menjadi manusia mandiri dalam masyarakat.
Negara ini ada untuk mensejahterakan rakyat. Ini secara jelas disebutkan dalam UUD 1945, pasal 34 yang menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dan sebagai negara yang telah menyetujui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, maka Indonesia berkewajiban melindungi, menghargai dan memenuhi hak-hak warganya atau hak-hak rakyatnya. Hak-hak rakyat ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sosial dan politik.
Kenyataannya, rakyat khususnya masyarakat lapisan bawah sekarang ini banyak yang mengalami kemiskinan, bahkan kemiskinan akut. Di mana lapangan kerja adalah barang langka, dunia usaha, khususnya dalam sekala kecil dan menengah juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Akses ke sumber-sumber strategis hanya dimiliki segelintir orang dan satu dua pihak saja. Sementara rakyat kebanyakan hidup dalam kondisi pas-pasan.
Masalah kemiskinan di Indonesia tetap menjadi masalah yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran.Angka pengangguran tahun 2010 diperkirakan masih akan tinggi, berkisar antara 8-10%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2010 yang diproyeksikan sebesar 5 persen, dinilai tidak akan cukup untuk menyerap seluruh tenaga kerja yang memasuki usia kerja. "Tingkat pengangguran dan kemiskinan masih sangat tinggi, yaitu sebesar 8 persen hingga 10 persen untuk pengangguran dan 12 persen sampai 14 persen untuk tingkat kemiskinan," ujar Ekonom Kepada The Indonesia Economic Intellegience (IEI).
Hasil tersebut merupakan suatu fakta bahwa keadaan indonesia dalam dunia perkerjaan sangat memperihatinkan. Di tengah tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia inilah, maka menjadi buruh migran (TKI) adalah salah satu alternatif yang dipilih sebagian angkatan usia produktif yang siap bekerja. Disamping fenomena keluarga miskin yang terus bertambah akibat krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Indonesia saat ini, maka mau tidak mau, secara alami mereka akan berusaha untuk menyerbu pusat-pusat aktifitas perekonomian sebagai solusi untuk keluar dari himpitan kemiskinan yang menimpa mereka.
Dalam catatan Depnakertrans tahun 2007, buruh migran Indoesia resminya mencapai 400.000 jiwa, dan yang tak resminya bisa mencapai beberapakali lipatnya, tengah berada di luar negeri. Jalan berliku yang dihadapi buruh migran Indonesia mengejar hujan emas di negri orang menguras perhatian. Baik dari proses perekrutan, karantina, penempatan, perlindungannya dan proses kembali ke tanah air. Mungkin cerita tentang buruh migran sudah banyak dikedepankan. Baik cerita sukses maupun buram.
Dalam benak para buruh migran hanya satu, mereka ingin mengubah nasib. Alasan ekonomi, kerap lebih dominan. Himpitan ekonomi yang tak berkesudahan membuat mereka, diantaranya, memilih menjadi buruh migran. Mereka tahu bahwa itu seperti berjudi. Bertaruh dengan penuh harapan karena di negeri seberang berharap hidup akan berubah, bisa bayar utang, membantu keluarga, membangun rumah atau jika masih lebih untuk modal usaha. Pasrah, karena sebenarnya tak tahu harus kemana.
Dan pada kenyataannya seperti yang kita ketahui tidak sedikit permasalahan yang dihadapi para buruh migran. Banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi, terutama dalam hal pemenuhan hak sebagai pekerja; seperti gaji tidak dibayar, fasilitas-fasilitas yang tidak dipenuhi. Selain itu juga adanya pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan dan lainnya. Sehingga para buruh migran dapat dikatakan statusnya sebagai tenaga kerja paksa dikarenakan pada kenyataannya banyak hak-hak mereka yang tidak terpenuh yang sebenarnya bersifat wajar. Sehingga di indonesia kerja paksa identik dengan buruh migran.
Saat ini kerja paksa terjadi di berbagai tempat di dunia di di berbagai sektor. Di Asia tercatat 9,5 juta orang terperangkap dalam kerja paksa tersebut, dimana banyak orang bekerja tidak memperoleh bayaran yang sesuai, tidak cukup umur, atau bagi wanita terpaksa melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan pria. Kawasan lainnya adalah di Amerika Latin dan Karibia 1,3 juta orang, di sub-Sahara Afrika 660 ribu orang, Timur Tengah dan Afrika Utara 260 ribu. Eksploitasi tersebut terjadi pada sektor-sektor pertanian, konstruksi, pembuatan bahan bangunan, dan permesinan yang seharusnya dibedakan antara pekerja pria dan wanita.
Kegiatan kerja paksa tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan atas perekrutan tenaga kerja, dan juga lemahnya posisi pekerja. Munculnya bentuk-bentuk baru dari pemaksaan dalam globalisasi ekonomi saat ini juga menimbulkan sejumlah masalah. ILO menilai tekanan kuat untuk deregulasi pasar tenaga kerja sebagai bagian dari upaya umum untuk mengurangi biaya tenaga kerja dan dengan demikian meningkatkan persaingan. Oleh sebab itu, perlu strategi yang tepat untuk menghapuskan kegiatan kerja paksa itu dengan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, organisasi pekerja, pengusaha dan badan-badan pembangunan. Untuk itu diperlukan suatu kombinasi antara penegakan hukum dan upaya mencari akar penyebab dari munculnya kerja paksa tersebut.
Kenyataan di atas adalah bukti bahwa tenaga kerja paksa berhubungan erat dengan kemiskinan. Adanya kecenderungan menjadikan seseorang
terpaksa menjadi tenaga kerja paksa karena faktor kemiskinan adalah sisi lain
yang patut disayangkan.
Padahal seharusnya perkembangan zaman bisa mengubah pola pikir masyarakat bahwa mengatasi kemiskinan tidaklah harus menjadi tenaga kerja paksa.
Berikut ini adalah contoh kasus kekerasan yang dialami para buruh migran, antara lain:
·Seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Garut, Jawa Barat yang menjadi korban penganiayaan oleh majikan di Malaysia, Kondisi kesehatan Siti sepulang dari Malaysia akhir tahun 2009, masih merasakan sakit di beberapa bagian badannya terutama pada dada yang merasa sesak saat bernafas. Rasa sesak yang dialaminya itu, kata Siti akibat tindakan kekerasan yang dilakukan majikannya, selama bekerja kurang lebih empat tahun. Selain merasa sesak nafas, Siti juga mengalami tulang hidung menjorok kedalam, serta kulit dibeberapa bagian badannya membekas akibat mengalami penyiksaan. (Sumber: www.fahmina.or.id. Selasa, 10 Agustus 2010)
·Siti Nurjanah, 31 tahun, Tenaga Kerja Indonesia asal Desa Kedunggalar, Kecamatan Kedunggalar. Siti Nurjanah terpaksa melarikan diri dari majikannya di Arab Saudi karena tidak tahan mendapat siksaan. Berangkat menjadi TKI sejak 25 Juli 2009 melalui Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) PT Momenson Sejahtera yang berkantor di Jakarta. Siti bekerja sebagai pembantu rumah di sebuah keluarga di Arab Saudi. Namun selama setahun bekerja, Siti kerap mengalami tindak kekerasan dari majikan perempuannya. Siti juga mengaku pernah disulut dengan besi panas dan disiram dengan minyak goreng panas. Bekas luka memar dan luka bakar itu masih terlihat di bagian tangan, punggung, dan kepala. Beberapa bagian kulit di tangannya tampak melepuh. Siksaan dialami Siti terutama saat majikan laki-lakinya sedang tidak berada di rumah. “Terakhir yang paling parah terjadi sebelum bulan puasa,” ucapnya. (Sumber: www.tempointeraktif.com. Senin, 25 Oktober 2010 )
Kasus diatas bukan merupakan kasus yang hanya beberapa kali terjadi tapi sudah sering terjadi pada TKI asal Indonesia. PPTKIS yang memberangkatkan TKI yang seharusnya juga bertanggungjawab terhadap nasib TKInya selama masa kontrak tidak jarang seperti lepas tangan. Di sisi lain, peran pemerintah, dalam hal ini kedutaan masih belum seperti yang diharapkan. Undang-Undang No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar negeri sebenarnya sudah mengatur mengenai perlindungan hukum terhadap TKI. Namun perlindungan belum secara detail dengan masalah-masalah buruh secara internasional.
Namun dari kasus-kasus diatas justru banyak TKI mengalami kekerasan dan justru tidak dibantu. Biasanya karena kurangnya koordinasi, ada beberapa kasus korban yang malah justru dikirim ke penjara karena dianggap ilegal. Karena memang pada kenyataannya banyak TKI yang ingin dibantu justru malah bermasalah dalam perizinan imigrasi.
Analisis
Negara ini ada untuk mensejahterakan rakyat. Ini secara jelas disebutkan dalam UUD 1945, pasal 34 yang menyatakan bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” maka Indonesia berkewajiban melindungi, menghargai dan memenuhi hak-hak warganya atau hak-hak rakyatnya. Hak-hak rakyat ini terkait dengan hak ekonomi, sosial, budaya, sosial dan politik.
Kenyataannya, rakyat khususnya masyarakat lapisan bawah sekarang ini banyak yang mengalami kemiskinan, bahkan kemiskinan akut. Di mana lapangan kerja adalah barang langka, dunia usaha, khususnya dalam sekala kecil dan menengah juga mengalami persoalan yang tidak mudah dipecahkan.
Hal tersebut merupakan suatu fakta bahwa keadaan indonesia dalam dunia perkerjaan sangat memperihatinkan. Di tengah tingginya angka pengangguran dan terbatasnya lapangan pekerjaan di Indonesia inilah, maka menjadi buruh migran (TKI) adalah salah satu alternatif yang dipilih sebagian angkatan usia produktif yang siap bekerja. Maka mau tidak mau, secara alami mereka akan berusaha untuk menyerbu pusat-pusat aktifitas perekonomian sebagai solusi untuk keluar dari himpitan kemiskinan yang menimpa mereka.
Dan pada kenyataannya seperti yang kita ketahui tidak sedikit permasalahan yang dihadapi para buruh migran. Banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi, terutama dalam hal pemenuhan hak sebagai pekerja; seperti gaji tidak dibayar, fasilitas-fasilitas yang tidak dipenuhi. Selain itu juga adanya pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan dan lainnya. Sehingga para buruh migran dapat dikatakan statusnya sebagai tenaga kerja paksa dikarenakan pada kenyataannya banyak hak-hak mereka yang tidak terpenuh yang sebenarnya bersifat wajar. Sehingga di indonesia kerja paksa identik dengan buruh migran.
Jika dikaitkan dengan perspektif pembangunan yang ada, permasalahan di indonesia mengenai TKI termasuk ke dalam kedua perspektif pembangunan, yaitu modernisasi dan depedency teori. Modernisasi teori yaitu yang menggambarkan bahwa permasalahan yang ada dianggap karena kekurangan yang ada dari Negaranya sendiri. Karena jika dianalisis banyaknya warga masyarakat yang yang menjadi TKI dan penyebab utamanya yaitu permasalahan ekonomi yang ada dalam negara indonesia sendiri, sehingga berdampak pada lapangan kerja yang semakin menyempit, barang-barang langka, padahal kebutuhan semakin meningkat. Mungkin jika keadaan perekonomian lebih baik, banyak dari masyarakat yang tidak memilih untuk menjadi TKI dan minimal mengurangi TKI yang ada atau pekerja migran. Sehingga tidak banyaknya kejadian mengenai kekerasan pada tenaga kerja indonesia. Dan mereka juga berfikir bahwa penyelesaian dari masalah yang ada yaitu dengan memanfaatkan pasar bebas dianggap sebagai pembantu untuk kemakmuran.
Sedangkan menurut prespektif pembangunan dalam teori depedency menilai bahwa permasalahan yang ada dilatar belakangi bahwa adanya negara miskin, karena adanya negara kaya yang memanfaatkan sumber daya negara tersebut. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA), namun pada kenyataannya banyak SDA yang justru dimanfaatkan oleh berbagai macam negara, karena banyak yang menilai bahwa indonesia kaya akan potensi alam, namun kenyataanya pemerintah kita belum dapat mengolah dan memanfaatkannya dengan baik. Sehingga potensi alam yang ada justru dimanfaatkan oleh negara-negara luar. Dan pada teori ini juga dijelaskan bahwa mereka berfikir satu-satunya yang bisa membangkitkan keadaan mereka yaitu dengan bantuan dari negara kaya.
Dari permasalahan tersebut banyak yang dapat dilakukan seorang pekerja sosial untuk membantu permasalahan TKI tersebut. Para pekerja sosial itu yang nantinya di tempatkan di negara penempatan TKI dipastikan akan banyak membantu, mengingat banyaknya masalah sosial yang terjadi. bisa melakukan bimbingan-bimbingan sosial kepada para pekerja migran Indonesia yang memiliki masalah, bahkan bisa melakukan kunjungan ke rumah-rumah tempat pekerja migran bekerja sebagai bentuk pengontrolan dari pemerintah. Karena fungsi pekerja sosial yaitu pertolongan kemanusiaan yang membantu meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga dan masyarakat dalam melaksanakan peran-peran sosialnya.
Berikut ini yaitu peran-peran pekerja sosial yang dapat dilakukan guna membantu permasalah TKI yang ada, yaitu sebagai fasilitator, konselor, pembuat kebijakan, dan sebagai advocat:
·Sebagai fasilitator: Pekerja sosial berusaha memfasilitasi para TKI untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan keterampilan dengaan memanfaatkan sember daya yang ada di pedesaan, dan agar TKI dapat tetap berfungsi. Sehingga walaupun mereka telah mengalami kekerasan namun dapat tetap berfungsi tidak lagi hanya terpaku dengan pekerjaan lamanya yaitu sebagai TKI. Dengan menggunakan metode community development yaitu dengan mengembangkan potensi yang ada. Bentuk-bentuk bantuan yang dapat dilakukan berupa pelatihan-pelatihan, pengadaan training-training yang memotivasi para TKI untuk tetap menjalankan aktivitas dan tidak merasa terpuruk. Selain itu juga membantu dengan memberikan dan mendekatkan sumber-sumber informasi yang dibutuhkan para TKI untuk menyelesaikan masalah yang terjadi.
·Sebagai konselor: Para pekerja sosial berusaha memberikan bantuan kepada TKI yang mengalami gangguan secara psikologi guna membantu mereka yang mengalami trauma-trauma, intervensi yang dilakukan berupa pengadaan konseling sebagai bentuk penyelesaian yang bersifat kuratif dengan pendekatan individu dan menggunakan metode sosial casework yaitu melaksanakan fungsi-fungsi pemberian bantuan khusus langsung kepada individu.
·Sebagai pembuat kebijakan: Peran pekerja sosial yaitu ikut dalam perumusan dan pengimplementasian kebijakan yang dikeluarkan guna menanggulangan masalah TKI agar para TKI merasa dilindungi dan hak-haknya dapat terpenuhi, pekerja sosial juga ikut membantu serta dalam peningkatan keterlibatan masyarakat luas dalam aksi kebijakan tersebut. Dan tentunya seorang praktisi kebijakan tidak selalu memiliki penguasaan yang menyeluruh, sehingga dibutuhkan sebuah tim yang memiliki keahlian dari bidang yang berbeda-beda.
·Sebagai advocat: Advokasi kepada aparat penegak hukum yang dilakukan oleh pekerja sosial terutama untuk menekankan pada perlunya perlindungan dan pemenuhan hak-hak pada TKI. Advokasi dilakukan kepada aparat penegak hukum disemua tingkatan, baik ketika masih pada tingkat penyidikan di kantor polisi maupun tingkat penuntutan. Sehingga masalah yang ada terselesaikan dengan baik dan jelas.
Namun, masalah perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri ini menyangkut negara lain, maka dibutuhkan kesinergisan dengan sebuah organisasi internasional yang mewadahi permasalahan yang berkaitan dengan ketenaga kerjaan dan buruh agar birokrasinya lebih mudah walaupun pada kenyataannya ILO bukanlah organisasi yang mengatasi permasalahan kasus perkasus. Tetapi minimal dengan ini ILO berperan untuk mengkritisi negara anggota yang bermasalah dan kemudian memberikan masukan tentang bagaimana seharusnya implementasi dari berbagai konvensi itu ketika dalam suatu forum, saat masing-masing negara anggota melaporkan dan me-review tentang implementasi dari berbagai konvensi ILO. Seperti halnya permasalahan ketenaga kerjaan ini, ILO mengkritisi negara tempat tenaga kerjaindonesia bekerja dan kemudian memberikan masukan-masukan.